SM Cetak -
Semarang Metro
21 Maret
2013
Sejarah
Kelurahan Tembalang
Deru suara knalpot dan
lalu lalang puluhan sepeda motor yang keluar dan masuk ke beberapa gang yang
ada di wilayah Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang menjadi pemandangan
Rabu (20/3) siang yang terik.
Menelusuri sejarah
kelurahan yang dahulu merupakan hutan belantara, siang itu cukup mudah. Atas
informasi dari Lurah Tembalang, Margono SSos, ada dua sesepuh yang masih hidup
dan memahami sejarah. Dia adalah Agus Siswanto (71) dan Sutejo.
Di rumah kayu jati khas
Semarangan bercat hijau yang berada di belakang Warung Makan Tegal, Agus
Siswanto tinggal. Bapak lima anak dan tujuh cucu pensiunan PNS Dinas Kesehatan
Kota Semarang pun menyambut kedatangan Suara Merdeka dengan ramah. Warga
Kampung Banjarsari 27 RT 1 RW 1 itu pun mulai membeberkan kisah berdirinya
Tembalang yang dia dapat secara turun menurun dari para kakek maupun sesepuh
yang terdahulu.
Sebelum berdiri
pemukiman padat, kampus Undip, Universitas Pandanaran, Akper, dan puluhan
perumahan, Tembalang merupakan hutan belantara. Dua tokoh penyebar agama Islam
di Jawa Tengah, Kyai Sirojudin dan Kyai Galang Sewu yang dikenal sebagai tokoh
yang melakukan babat alas Tembalang saat itu melakukan perjalanan dari Demak
menuju selatan bersama muridnya.
Ketika tiba di sebuah
sungai yang juga berdiri pohon Gambir berukuran besar di tepi sungai itu,
mereka dikejutkan oleh kedatangan rombongan pasukan yang tidak dikenalnya.
”Terjadilah peperangan kecil. Mereka saling lempar batu dan menembak dengan
bambu runcing. Ketika bambu runcing dan batu ditembakkan, pasukan itu hilang.
Kejadian itu terus
berulang, ketika ditembak, mereka hilang dengan sendirinya. Kyai Sirojudin dan
Kyai Galang Sewu pun bersepakat memberi nama kawasan itu sebagai Tembalang,
yang berasal dari tembak dan ilang (hilang-red),” paparnya.
Sementara versi
lainnya, nama Tembalang berasal dari kata tambal dan ilang. Nama ini diberikan
oleh Ki Ageng Pandan Arang ketika mengadakan inspeksi ke kawasan itu.
Konon pada saat
mengadakan inspeksi di daerah ini, Ki Ageng bertemu dengan penduduk yang hendak
menambal mata air yang terus menerus membeludak di wilayah ini, sehingga mereka
mengadu kepada Ki Ageng.
”Ki Ageng Pandanaran
pun kemudian shalat 2 rakaat. Mata air yang membeludak itu akhirnya lenyap, dan
kini hanya tersisa 1 mata air kecil di daerah ini yang bernama Tuk Songo. Itu
cerita yang turun temurun, soal kebenarannya sendiri, saya tidak tahu mana yang
benar,” tandasnya.
Seiring waktu berjalan,
Tembalang pun menjadi perkampungan dan dikenal memiliki grup ketoprak yang
mampu menjuarai lomba kesenian tingkat Jawa Tengah. Klub sepak bola yang sering
menjuarai beragam turnamen pun cukup dikenal di kawasan sekitar Tembalang.
”Tetapi, grup,
komunitas yang ada itu hanya menjadi blarak kobong. Ketika masih aktif, dikenal
banyak orang. Tapi ya umurnya singkat. Kini, sudah tidak ada lagi,” katanya
sambil matanya memandang eternit bermotif bunga di ruang tamu yang panjang itu,
kemarin.
Tembalang, kata dia,
secara administratif, terjadi pengembangan wilayah hingga tiga kali. PAda
1970-an, Tembalang merupakan salah satu desa di Kecamatan Ungaran, Kabupaten
Semarang. Setelah pemekaran wilayah pada 1980-an, menjadi salah satu kelurahan
di wilayah Kecamatan Banyumanik.
”Setelah Undip secara
resmi pindah ke Tembalang, Pemerintah Kota Semarang kemudian memekarkan
wilayahnya dengan menambah jumlah kecamatan. Kelurahan Tembalang menjadi bagian
dari Kecamatan Tembalang, sampai sekarang. Dulu, sebelum ada Undip, warga
Tembalang menikahnya ya dengan tetangganya sendiri, tapi sekarang berubah. Ada
yang menikah dengan warga Papua, Aceh, Kalimantan, Sumatera dan daerah lain di
Indonesia,” katanya.
Sesepuh Tembalang
lainnya, Sutejo siang itu tidak dapat dijumpai. ”Pak Tejo masih aktif bekerja,
kalau mau ketemu sore hari saja,” ujar Lurah Tembalang Margono.
Margono menambahkan,
kampus Undip yang berdiri di wilayah Kelurahan Jangli, Bulusan dan Tembalang
itu membawa dampak ekonomi dan budaya bagi masyarakat. Hampir mayoritas warga
Tembalang menggantungkan hidupnya dari usaha kos-kosan, warung makan dan foto
copy.
”Jumlah warga Tembalang
saja hanya 5.386, tetapi yang tinggal di Tembalang baik itu kos maupun
mengontrak ada sekitar 15 ribu orang. Jumlah kos-kosan saja ada 500-an lebih.
Luas lahan Tembalang yang digunakan untuk kampus Undip sendiri mencapai 186
hektar, dan sesuai PP nomor 50 tahun 1990, luas Tembalang sekarang ini tinggal
270 hektar,” papar Margono saat ditemui di sela-sela pembagian e-KTP kepada
warganya, kemarin. (Muhammad Syukron-39)
29 April 2014 | 14:11 wib | Semarang
Tanggapan saya :
Menurut saya, dengan adanya kronologis sejarah perkembangan
Kelurahan Tembalang tersebut terdapat sisi positif dan negatifnya
masing-masing.
Untuk sisi positifnya sendiri yaitu Kelurahan Tembalang mampu
menyediakan lapangan usaha bagi masyarakat setempat maupun luar daerah.
Misalnya saja dapat membuka tempat hunian sewaan atau kos-kosan bagi mahasiswa
UNDIP yang berasal dari luar daerah. Atau dapat pula membuka usaha-usaha lain
misalnya membuka warung makan, tempat fotokopi, jasa laundry pakaian, dan
sebagainya. Usaha-usaha tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomis bagi
masyarakat setempat karena usaha-usaha tersebut merupakan kebutuhan-kebutuhan
pokok yang diperlukan oleh mahasiswa yang berdomisili disana.
Sedangakan jika dilihat dari sisi negatifnya, sebenarnya sangat
disayangkan apabila harus membabat hutan yang lebat di Kelurahan Tembalang
tersebut. Apalagi jika kita melihat dari kondisi Kota Semarang bagian bawah
yang persentase Ruang Terbuka Hijau (RTH)nya di bawah dari peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kesimpulan saya, ini merupakan salah satu
penyebab banjir atau sebatas genangan air yang tak kunjung surut yang kerap
kali melanda Kota Semarang bagian bawah. Memang Kabupaten Semarang masih
memiliki daerah-daerah hijau yang lain, yang salah satunya di daerah Gunung
Pati. Namun hal ini juga tidak akan bisa membuat kita bernafas lega selamanya
karena daerah Gunung Pati sendiri sudah 20 tahun terakhir ini telah berdiri
UNNES dan jumlah orang yang berdomisili di sana pun juga telah meningkat setiap
tahunnya. Jadi tidak bisa dipungkiri lagi jika nantinya Gunung Pati juga akan
mengalami hal yang serupa dengan Kelurarahan Tembalang.
Kita memang tidak bisa mengetahui apa yang akan kita butuhkan untuk
tahun-tahun mendatang. Namun kita juga harus tetap bisa mengendalikan sikap
atau ego kita sendiri. Kita tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup di
sekitar kita untuk kepentingan kita sendiri. Seharusnya pikirkan juga untuk
kelangsungan hidup anak cucu kita nantinya. Karena menurut saya, sebagian besar
pembangunan yang terjadi di negeri ini adalah kepentingan materialistis
seseorang atau kelompok tertentu semata.
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/03/21/219071
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/03/21/219071