Monday, 2 June 2014

RESUME WASTU CITRA (BAB 2 - BAHASA UNGKAPAN)


WASTU CITRA (BAB 2 – BAHAASA UNGKAPAN)
OLEH Y. B. MANGUNWIJAYA
2.1
Menurut Y. B. Mangunwijaya, manusia tidak hanya berbahasa dengan lidah saja, tetapi dapat dengan gerakan-gerakan tubuh. Misalnya dengan lambaian tangan, angguk kepala, kerling mata, dan sebagainya.

Gambar 1a
“Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri”.
A. Merleau-Ponty

Tubuh manusialah yang menghubungkan yang-serba-dalam-batin dengan alam semesta yang-di-luar-diri kita, khususnya yang berciri materi. Sehingga apalbila fungsi-fungsi fisik dan biologik manusia ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta fisik di kelilingnya, bahkan dengan seluruh dunia materi angkasa raya juga, maka dengan begitu manusia melihat, mendengar, berpikir, bercitarasa secara manusiawi dan semakin manusiawi.

   
Gambar 1b
Manusia ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan semesta fisik di sekelilingnya, tetapi sekaligus mengatasi flora, fauna, alam materi
belaka. Hakikat dan tugas budaya arsitektural pun di situlah : bagaimana ber-satu-hukum dengan alam semesta, sekaligus mengatasinya : artinya berbudaya, bermakna.

Kata ahli pikir J. B. Metz, “Um vollendeter menschlicher Geist zu sein, musz er immer mehr Leib werden”. “Agar menjadi roh manusiawi yang sempurna, ia (manusia) harus semakin menjadi badan”. Dan sebaliknya, “Agar menjadi badan manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi roh”.
Hal yang sama juga terdapat dalam “Serat Dewa Ruci” yang juga merupakan pemikiran nenek moyang kita :
Kang ingaran urip mono mung
jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine...

Jeneng wadhah yen tanpa isi,
alah dene arane wadhah,
tanpa tanja tan ana pigunane

Semono uga isi tanpa wadhah
yekti barang mokal....

Tumrap urip kang utama
tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone”.


“Yang disebut hidup (sejati) tak lain
adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya,
ibarat bejana dan isinya...

Biar bejana tetapi bila tanpa isi,
sia-sia disebut bejana,
tidak semestinya dan tidak berguna,

Demikian juga isi tanpa bejana
sungguh hal yang mustahil...

Demi hidup yang baik
tentulah dibutuhkan bejana dan isi,
sebaiknyalah kedua-duanya”.


Jadi bukan dualisme : jasmani DAN rohani, melainkan kesatuan tunggal hakiki : rohani-jasmani, itulah manusia.
Pendek kata, “Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu dan melibatkan diri dengannya tanpa henti... Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri”.

 
Gambar 2a
Nikmatilah hikmah Pulchrum splendor est veritatis pada aquaduct (saluran air) di kota Queretaro (Meksiko) buatan arsitek klasik Don Antonio Urrutia y Arana ini. Konstruksi lengkung-lengkung batu alam yang sempurna dari segi ilmu statika mencitrakan diri dalam wujud yang indah.


2.2
Ruang yang ekspresif meliputi penghayatan arsitektural, penghayatan ruang, beserta pembatas dan pelengkap ruang-ruang, yakni gatra-gatra atau volume-volume, secara manusia berbudaya. Kata Merleau-Ponty, ”Namun, tubuh kita tidak hanya satu ruang ekspresif di antara yang lain-lain. Tubuh seyogyanya jangan dibandingkan dengan benda fisik, tetapi ia lebih-lebih karya seni... Seperti ini juga : percakapan tidak hanya ditandai oleh kata-katanya, tetapi juga oleh aksennya, warna nadanya, gerak ulah, dan sikap badan... Demikian juga puisi. Yang dimaksud : puisi yang berwarta dan bermakna. Puisi pada hakikatnya adalah suatu benda ada-diri (de l’existence) kita”.
Apakah arti itu semua bagi karya arsitektur? Dalam segenap karya pembangunan, kita dapat membangun asal saja berdiri dan dapat dipakai. Tetapi binatang sekalipun tidak begitu. Sayap kupu-kupu, tanduk rusa raja, bulu-bulu cendrawasih, sisik ikan, bahkan sikap perangai dan ulah kelakuan lumba-lumba atau anjing pun tidak cuma berbiologi belaka, menjalankan kelangsungan diri dan mempertahankan diri fisik belaka. Ada unsur-unsur yang “lebih dari asal-berguna”.
Oleh karena itu, bila kita berarsitektur, artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan; dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik.
Arsitektur yang baik tidak harus dengan biaya yang mahal ataupun mengikuti mode mutakhir, gaya yang sedang laku, dan sebagainya. “A thing of beauty is a joy forever”, kata orang Inggris. “Sesuatu yang indah adalah kegembiraan tanpa henti”. Maka salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinaasihatkan oleh ahli pikir Thomas dari Aquinas, “ Pulchrum splendor est veritatis”. “Keindahan adalah pancaran kebenaran”.

 
Gambar 2b
Perhatikan cara-cara pembuatan, peletakan, dan pemberian bentuk-bentuk unsur-unsur bangunan rumah Jepang ini. Wajar, benar, fungsional dapat penuh dipertanggungjawabkan. Bahkan bentuk lengkung atap pun rasional (lebih kuat terhadap benturan), namun indah juga.

 
Gambar 2c
Perhatikan cara penutup dan pemerkuat sotoh atap rumah petani Jepang ini. Konstruksi fungsional efisien, sekaligus mahkota hiasan indah.


 
Gambar 2d
Atap rumah penyimpanan harta kemaharajaan di Bait Todaiji (Jepang), abad ke-8.


 
Gambar 2e
Atap rumah upacara teh (bahasa Jepang : Koshikake) di Jepang yang terbuat dari kulit pohon Cryptomeria dan diperkuat serta diperberat melawan angin. Konstruksi ini jujur dan praktis (di Jepang curah hujan tidak sebanyak di Indonesia), dan ternyata hasil pola visualnya sangat bagus. Indah karena benar.


 
Gambar 2f 
Kesederhanaan dan keselarasan. Bangunan shosoin (rumah penyimpanan harta kemaharajaan) di Bait Todaiji (Nara) yang dibangun tahun 752 M. Ini dibuat dari balok-balok kayu berpenampang sepertiga dalam gaya yang disebut gaya azegura. Balok-balok itu saling bertumpangan pada sudut-sudut bangunan. Mengapa penampang segitiga? Kelembapan yang sedikit pun akan mengembangkan bahan kayu, dan dengan cara begini otomatis sisi atas/ bawah pada balok saling menutup rapat, sehingga menjaga harta benda di dalamnya bebas dari embun yang disebabkan oleh udara lembab yang menyusup dari luar. Perhatikan tiang-tiang yang relatif kecil semampai dan batu-batu alas yang sangat sederhana tanpa pondasi sedikit pun. Padahal sangatlah berat bangunan shosoin ini. Bukankah contoh-contoh seperti ini, yang sudah membuktikan diri, bahan inspirasi yang meyakinkan bagi Indonesia yang kaya gempa bumi? Walaupun negeri Jepang tidak selembab Indonesia, namun sangatlah mengagumkan juga, bahwa konstruksi kayu yang tentulah terkena erosi waktu ini sudah bertahan 12 abad.


 
Gambar 2g
Halaman pertemuan dan kerukunan desa Pulau Patmos (Yunani), yang tanpa arsitek profesional terbangun oleh spontanitas dan intuisi bakat bangsa sejak zaman dahulu ahli-ahli bangunan ini, memperlihatkan untuk kesekian kalinya, bagaimana kesederhanaan, keindahan, kebenaran merupakan kata-kata lain dari suatu perkara; dan bagaimana kualitas bahasa arsitektur pertama-tama adalah perkara batin-dalam, roh; yang semoga dapat kita bina sebening mungkin; seperti tampak dalam foto ini.


 
Gambar 2h
Gagasan jembatan yang dirancang oleh arsitek terkenal kelahiran Italia, Paolo Soleri, ini, kendatipun belum direalisasi, adalah suatu contoh cara mendesain yang mengungkapkan KEINDAHAN PANCARAN KEBENARAN. Sebab, perhatikan struktur konstruktif yang terbuat dari bidang-bidang lengkung beton bertulang kabel-kabel baja pratekan yang berkat kelengkungannya merupakan susunan kuat melawan kekuatan-kekuatan horisontal maupun vertikal. Seperti dalam pipa-pipa, tekanan maupun tarikan tersalur kontinyu dan kuat sehingga memungkinkan penampang-penampang bahan yang tipis. Begitulah tuntutan-tuntutan konstruktif yang dijawab secara bertanggung jawab mengungkapkan diri tanpa dibuat-buat, ke dalam bentuk yang elegan dan meyakinkan. Keuntungan luar biasa dari rancangan ini ialah pemungkinan bentangan yang panjang sekali tanpa tiang-tiang penopang banyak, sedangkan jalan dapat dibentuk pada garis relatif sangat horisontal.


2.3
 
Gambar 3

Lihatlah foto pemandangan padang pasir pada Gambar 3. Indah bukan. bentuk-bentuk gelombang pasir, seperti gelombang air pun, adalah hasil perpaduan daya angin yang berdialog dengan daya berat butir-butir pasir, (atau molekul-molekul air) tepat menurut kebenaran hukum-hukum fisika. Hasilnya merupakan segubahan komposisi antara yang tertiup dan yang hinggap, antara yang bergerak horisontal maupun vertikal, naik dan turun, ke sana ke mari, ke kanan ke kiri. Berupa lengkung-lengkung yang saling susul-menyusul. Hal yang wajar, yang alami. Tetapi betapa pun indahnya, bahasa lengkung lembah dan penggunungan pasir itu masihlah bertaraf alami, belum buah bahasa manusia, belum kebudayaan. Barulah apabila dari material alami itu manusia ikut berbicara, ikut menafsirdan berkreasi, barulah bangunan garis, bidang, dan volume-volume itu dapat menjadi puisi dan musik yang membahasakan ada-diri manusia.


 
Gambar 3a
Cahaya yang terpantul di antara garis-garis lengkung pasir pantai.


 
Gambar 4a
Bukit yang tererosi.
Perhatikan kini pemukiman suku Arafura di Australia Utara yang berawa-rawa ini (Gambar 5). Kita melihat, bahwa dari segi pemanfaatan praktis, gedung ini sudah memenuhi syarat. Atap dan bentuk panggung secara betul melawan sengat matahari, hujan, dan banjir rawa-rawa.


 
Gambar 5
Pemukiman orang-orang suku Arafura di Australia Utara.


Perhatikan sekarang rumah penyimpanan padi di Tanah Batak (Gambar 6).




 
Gambar 6
Lumbung padi di Tanah Batak.

Kita lihat bangunan suku sederhana Arafura itu memakai prinsip-prinsip dan penjawaban teknis yang sama dengan yang lain-lain. Namun menampak, bahwa rumah orang-orang Arafura baru menjawab satu permintaan, yakni : dapat dipakai menurut kebutuhan pemakai. Sedangkan pada rumah di Tanah Batak, kita sudah menemukan sesuatu kelebihan. Bukan kelebihan pertama-tama harga biayanya, melainkan kelebihan : selain dapat digunakan, rumah itu mencahayakan nilai-lebih, nilai pengangkatan jiwa manusia kepada yang lebih luhur. Dengan kata lain : selain unsur GUNA, kita menemukan dalam karya arsitektur manusia yang berkebudayaan : unsur CITRA.


 
Gambar 7a
Konstruksi tenda besar Stadion Olimpiade di Muenchen, Republik Federasi Jerman. Arsitek-arsitek/ insinyur : Benisch & Partner, Frei Otto, Leohardt & Andre.


 
Gambar 7b
Kita melihat konstruksi dengan bahan baja. Lain dari baja adalah bahan beton yang kodratnya hanya menjawab daya tekan. Tetapi beton mudah menyesuaikan diri menjadi bentuk apa pun, karena (sebelum membeku) berwujud jenang plastis. Kekuatan beton dan citra plastisitas yang serba luwes tersebut sangat ekspresif terwujud dalam unsur-unsur pagar jalan spiral garasi besar mobil-mobil di lapangan udara Seattle, Tacoma, Washington ini. Garasi untuk 9.000 mobil yang sangat menghemat tanah ini dirancang oleh The Richardson Ass. Seattle.


 
Gambar 8
Gedung Pusat Alcoa di SanFransisco, USA. Arsitek-insinyur : Skidmore, Owings, dan Merrill. Tantangan sangat besar pencakar langit selalu adalah tekanan angin. Padahal demi efisiensi ruang dan biaya, dibutuhkan dinding-dinding serta masa yang ringan-tipis. Secara radikal tetapi benar, para arsitek tak segan-segan menerapkan sistem diagonal (kerangka segitiga) pada semua sisi gedung, sehingga secara sangat efisien tercapai kekakuan konstruktif yang kuat, sekaligus berkesan khas dan bagus.


 
Gambar 9
Bandar Udara Internasional Raja Abdul Aziz Jeddah. Arsitek : Skidmore, Owings, dan Merrill. Sistem tenda bandar udadra ini adalah hasil gemilang perpaduan antara kesederhanaan prasejarah padang pasir dan teknologo paling mutakhir, antara kebenaran dan kewajaran pemecahan soal dan estetika citarasa yang tinggi.

Wednesday, 14 May 2014

DARI HUTAN BELANTARA, KINI KOS-KOSAN



SM Cetak - Semarang Metro
21 Maret 2013
Sejarah Kelurahan Tembalang

Deru suara knalpot dan lalu lalang puluhan sepeda motor yang keluar dan masuk ke beberapa gang yang ada di wilayah Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang menjadi pemandangan Rabu (20/3) siang yang terik.
Menelusuri sejarah kelurahan yang dahulu merupakan hutan belantara, siang itu cukup mudah. Atas informasi dari Lurah Tembalang, Margono SSos, ada dua sesepuh yang masih hidup dan memahami sejarah. Dia adalah Agus Siswanto (71) dan Sutejo.
Di rumah kayu jati khas Semarangan bercat hijau yang berada di belakang Warung Makan Tegal, Agus Siswanto tinggal. Bapak lima anak dan tujuh cucu pensiunan PNS Dinas Kesehatan Kota Semarang pun menyambut kedatangan Suara Merdeka dengan ramah. Warga Kampung Banjarsari 27 RT 1 RW 1 itu pun mulai membeberkan kisah berdirinya Tembalang yang dia dapat secara turun menurun dari para kakek maupun sesepuh yang terdahulu.
Sebelum berdiri pemukiman padat, kampus Undip, Universitas Pandanaran, Akper, dan puluhan perumahan, Tembalang merupakan hutan belantara. Dua tokoh penyebar agama Islam di Jawa Tengah, Kyai Sirojudin dan Kyai Galang Sewu yang dikenal sebagai tokoh yang melakukan babat alas Tembalang saat itu melakukan perjalanan dari Demak menuju selatan bersama muridnya.
Ketika tiba di sebuah sungai yang juga berdiri pohon Gambir berukuran besar di tepi sungai itu, mereka dikejutkan oleh kedatangan rombongan pasukan yang tidak dikenalnya. ”Terjadilah peperangan kecil. Mereka saling lempar batu dan menembak dengan bambu runcing. Ketika bambu runcing dan batu ditembakkan, pasukan itu hilang.
Kejadian itu terus berulang, ketika ditembak, mereka hilang dengan sendirinya. Kyai Sirojudin dan Kyai Galang Sewu pun bersepakat memberi nama kawasan itu sebagai Tembalang, yang berasal dari tembak dan ilang (hilang-red),” paparnya.
Sementara versi lainnya, nama Tembalang berasal dari kata tambal dan ilang. Nama ini diberikan oleh Ki Ageng Pandan Arang ketika mengadakan inspeksi ke kawasan itu.
Konon pada saat mengadakan inspeksi di daerah ini, Ki Ageng bertemu dengan penduduk yang hendak menambal mata air yang terus menerus membeludak di wilayah ini, sehingga mereka mengadu kepada Ki Ageng.
”Ki Ageng Pandanaran pun kemudian shalat 2 rakaat. Mata air yang membeludak itu akhirnya lenyap, dan kini hanya tersisa 1 mata air kecil di daerah ini yang bernama Tuk Songo. Itu cerita yang turun temurun, soal kebenarannya sendiri, saya tidak tahu mana yang benar,” tandasnya.
Seiring waktu berjalan, Tembalang pun menjadi perkampungan dan dikenal memiliki grup ketoprak yang mampu menjuarai lomba kesenian tingkat Jawa Tengah. Klub sepak bola yang sering menjuarai beragam turnamen pun cukup dikenal di kawasan sekitar Tembalang.
”Tetapi, grup, komunitas yang ada itu hanya menjadi blarak kobong. Ketika masih aktif, dikenal banyak orang. Tapi ya umurnya singkat. Kini, sudah tidak ada lagi,” katanya sambil matanya memandang eternit bermotif bunga di ruang tamu yang panjang itu, kemarin.
Tembalang, kata dia, secara administratif, terjadi pengembangan wilayah hingga tiga kali. PAda 1970-an, Tembalang merupakan salah satu desa di Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. Setelah pemekaran wilayah pada 1980-an, menjadi salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Banyumanik.
”Setelah Undip secara resmi pindah ke Tembalang, Pemerintah Kota Semarang kemudian memekarkan wilayahnya dengan menambah jumlah kecamatan. Kelurahan Tembalang menjadi bagian dari Kecamatan Tembalang, sampai sekarang. Dulu, sebelum ada Undip, warga Tembalang menikahnya ya dengan tetangganya sendiri, tapi sekarang berubah. Ada yang menikah dengan warga Papua, Aceh, Kalimantan, Sumatera dan daerah lain di Indonesia,” katanya.
Sesepuh Tembalang lainnya, Sutejo siang itu tidak dapat dijumpai. ”Pak Tejo masih aktif bekerja, kalau mau ketemu sore hari saja,” ujar Lurah Tembalang Margono.
Margono menambahkan, kampus Undip yang berdiri di wilayah Kelurahan Jangli, Bulusan dan Tembalang itu membawa dampak ekonomi dan budaya bagi masyarakat. Hampir mayoritas warga Tembalang menggantungkan hidupnya dari usaha kos-kosan, warung makan dan foto copy.
”Jumlah warga Tembalang saja hanya 5.386, tetapi yang tinggal di Tembalang baik itu kos maupun mengontrak ada sekitar 15 ribu orang. Jumlah kos-kosan saja ada 500-an lebih. Luas lahan Tembalang yang digunakan untuk kampus Undip sendiri mencapai 186 hektar, dan sesuai PP nomor 50 tahun 1990, luas Tembalang sekarang ini tinggal 270 hektar,” papar Margono saat ditemui di sela-sela pembagian e-KTP kepada warganya, kemarin. (Muhammad Syukron-39)
29 April 2014 | 14:11 wib | Semarang

Tanggapan saya      :
Menurut saya, dengan adanya kronologis sejarah perkembangan Kelurahan Tembalang tersebut terdapat sisi positif dan negatifnya masing-masing.
Untuk sisi positifnya sendiri yaitu Kelurahan Tembalang mampu menyediakan lapangan usaha bagi masyarakat setempat maupun luar daerah. Misalnya saja dapat membuka tempat hunian sewaan atau kos-kosan bagi mahasiswa UNDIP yang berasal dari luar daerah. Atau dapat pula membuka usaha-usaha lain misalnya membuka warung makan, tempat fotokopi, jasa laundry pakaian, dan sebagainya. Usaha-usaha tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomis bagi masyarakat setempat karena usaha-usaha tersebut merupakan kebutuhan-kebutuhan pokok yang diperlukan oleh mahasiswa yang berdomisili disana.
Sedangakan jika dilihat dari sisi negatifnya, sebenarnya sangat disayangkan apabila harus membabat hutan yang lebat di Kelurahan Tembalang tersebut. Apalagi jika kita melihat dari kondisi Kota Semarang bagian bawah yang persentase Ruang Terbuka Hijau (RTH)nya di bawah dari peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga kesimpulan saya, ini merupakan salah satu penyebab banjir atau sebatas genangan air yang tak kunjung surut yang kerap kali melanda Kota Semarang bagian bawah. Memang Kabupaten Semarang masih memiliki daerah-daerah hijau yang lain, yang salah satunya di daerah Gunung Pati. Namun hal ini juga tidak akan bisa membuat kita bernafas lega selamanya karena daerah Gunung Pati sendiri sudah 20 tahun terakhir ini telah berdiri UNNES dan jumlah orang yang berdomisili di sana pun juga telah meningkat setiap tahunnya. Jadi tidak bisa dipungkiri lagi jika nantinya Gunung Pati juga akan mengalami hal yang serupa dengan Kelurarahan Tembalang.
Kita memang tidak bisa mengetahui apa yang akan kita butuhkan untuk tahun-tahun mendatang. Namun kita juga harus tetap bisa mengendalikan sikap atau ego kita sendiri. Kita tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup di sekitar kita untuk kepentingan kita sendiri. Seharusnya pikirkan juga untuk kelangsungan hidup anak cucu kita nantinya. Karena menurut saya, sebagian besar pembangunan yang terjadi di negeri ini adalah kepentingan materialistis seseorang atau kelompok tertentu semata.

Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/03/21/219071